Jakarta - Pungutan liar atau pungli dalam pengurusan
nikah resmi dicurigai menjadi penyebab maraknya pernikahan siri.
Padahal, bila semua sesuai aturan, Kementerian Agama menegaskan bahwa
biaya resmi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) hanya
sebesar Rp 30 ribu.
"Itu (pungli) yang membuat banyak nikah di bawah tangan," ujar Irjen Kemenag M Jasin dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (27/12/2012).
M Jasin mengatakan biaya pencatatan pernikahan di KUA diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama. Biaya di luar biaya resmi yang sudah diatur tersebut dipastikan adalah pungli.
"Kalau penghulu minta Rp 1 juta atau Rp 2 juta mending nikah di bawah tangan," imbuhnya.
Menurut Jasin permintaan penghulu untuk biaya 'lain-lain' itu bukan tanpa alasan. Salah satu faktor yang membuat penghulu meminta biaya adalah untuk ongkos transportasi dimana lokasi menikahkannya jauh dari KUA.
"Peristiwa nikah itu 80 persen itu dilakukan di hari libur. Di kampung saja ada yang minta Rp 500 ribu," imbuhnya.
Meski begitu, Jasin mengakui bahwa tidak selalu biaya nikah yang mahal itu dapat dikaitkan dengan pernikahan siri. Jasin menilai pernikahan siri itu saat ini justru banyak dilakukan oleh orang-orang kaya bukan orang miskin.
"Salah satunya kasus Bupati Garut Aceng itu. Dia kan nikah siri bukan karena tidak punya uang," candanya.
Sebelumnya Jasin mengungkapkan pungli di Kemenag, terutama di KUA bisa mencapai Rp 1,2 triliun. Jasin mengatakan pungutan liar kebanyakan terjadi ketika penghulu meminta 'ongkos' menikahkan dari pasangan yang telah mendaftar ke KUA. Tak tanggung-tanggung, mereka minta Rp 500 ribu untuk tiap pernikahan. Padahal, ongkos sebenarnya hanya Rp 30 ribu.
"Setahun itu 2,5 juta peristiwa nikah, itu belum termasuk yang cerai, jumlahnya sama. Misalnya rata-rata 2,5 juta dikalikan Rp 500 ribu, itu bisa sampai Rp 1,2 triliun," papar Jasin di Kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jalan Juanda No 37, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2012).
"Itu (pungli) yang membuat banyak nikah di bawah tangan," ujar Irjen Kemenag M Jasin dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (27/12/2012).
M Jasin mengatakan biaya pencatatan pernikahan di KUA diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama. Biaya di luar biaya resmi yang sudah diatur tersebut dipastikan adalah pungli.
"Kalau penghulu minta Rp 1 juta atau Rp 2 juta mending nikah di bawah tangan," imbuhnya.
Menurut Jasin permintaan penghulu untuk biaya 'lain-lain' itu bukan tanpa alasan. Salah satu faktor yang membuat penghulu meminta biaya adalah untuk ongkos transportasi dimana lokasi menikahkannya jauh dari KUA.
"Peristiwa nikah itu 80 persen itu dilakukan di hari libur. Di kampung saja ada yang minta Rp 500 ribu," imbuhnya.
Meski begitu, Jasin mengakui bahwa tidak selalu biaya nikah yang mahal itu dapat dikaitkan dengan pernikahan siri. Jasin menilai pernikahan siri itu saat ini justru banyak dilakukan oleh orang-orang kaya bukan orang miskin.
"Salah satunya kasus Bupati Garut Aceng itu. Dia kan nikah siri bukan karena tidak punya uang," candanya.
Sebelumnya Jasin mengungkapkan pungli di Kemenag, terutama di KUA bisa mencapai Rp 1,2 triliun. Jasin mengatakan pungutan liar kebanyakan terjadi ketika penghulu meminta 'ongkos' menikahkan dari pasangan yang telah mendaftar ke KUA. Tak tanggung-tanggung, mereka minta Rp 500 ribu untuk tiap pernikahan. Padahal, ongkos sebenarnya hanya Rp 30 ribu.
"Setahun itu 2,5 juta peristiwa nikah, itu belum termasuk yang cerai, jumlahnya sama. Misalnya rata-rata 2,5 juta dikalikan Rp 500 ribu, itu bisa sampai Rp 1,2 triliun," papar Jasin di Kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jalan Juanda No 37, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2012).